Demokratisnya Sidang Isbat 1 Syawal

Republika. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Agama Suryadharma Ali memutuskan 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Rabu (31/8). Hal ini berdasarkan hasil hisab dan ru’yat yang melibatkan Kementerian Agama, ormas-ormas Islam, instansi terkait dan tokoh-tokoh masyarakat yang melakukan pemantauan hilal.

Saya termasuk orang yang menyaksikan sidang ini malam tadi di salah satu stasiun televeisi. Sidang itsbat kali ini cukup menarik karena peserta dari kalangan ormas Islam memiliki pernyataan yang berbeda-beda atas realita yang terjadi di lapangan. Namun sayangnya pendapat tersebut lebih dikarenakan mengedepankan golongannya.
Sebelumnya, NU dan Persis telah menetapkan bahwa 1 Syawal 1432 jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011 berdasarkan hisab (perhitungan) bahwa hilal baru dapat dilihat pada hari Selasa sore tanggal 30 Agustus 2011, dengan prakiraan ketinggian hilal sudah lebih dari 2 derajat. Adapun Muhammadiyah menyatakan bahwa 1 Syawal 1432 jatuh pada hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011 dengan perhitungan bahwa pada hari senin sore hilal sudah muncul walaupun kemungkinan besar belum dapat dilihat, karena ketinggian hilal baru mencapai 1,3 derajat. Artinya, pada hari Selasa sudah memasuki bulan baru dalam perhitungan kalender hijriyyah.
Dari 96 titik resmi Kemennag yang telah ditentukan untuk melihat hilal, tidak ada satupun yang tampak. Namun, ternyata terjadi hal yang di luar perkiraan, yaitu tampaknya hilal di dua titik (bukan resmi dari Kemennag); Cakung, Jakarta Timur, dan Jepara, Jawa Tengah. Bahkan, saksi yang melihat hilal tersebut telah bersumpah atas kesaksiannya. Hal ini tentu mengejutkan beberapa pihak. Berdasarkan hitungan astronomi, hilal seharusnya tidak tampak karena baru mencapai ketinggian 1,3 derajat saja. Sedangkan hilal biasanya akan tampak saat telah mencapai tinggi di atas 2 derajat.

Kejanggalan –atau lebih tepatnya perbedaan- antara perhituangan (hisab) dan realita di lapangan membuat sejumlah ormas tidak meyakini atau menolak kesaksian Cakung dan Jepara. Terutama ormas NU yang dengan tegas menolak kesaksian tersebut dan meminta Kemennag segera menetapkan bahwa 1 Syawal jatuh pada hari Rabu tanggal 31 Agustus 2011. Adapun Muhammadiyah semakin yakin bahwa 1 Syawal jatuh pada hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011. Sayangnya, permintaan Muhammadiyah untuk mendatangkan para saksi ke ruangan sidang tidak terealisasi sehingga akhirnya Muhammadiyah “meminta izin” kepada Kemennag untuk melaksanakan Hari Raya ‘Idul Fithri lebih cepat satu hari dari apa yang ditetapkan pemerintah, melalui Kemennag NKRI dan MUI.
Saya cukup heran menyaksikan sidang itsbat ini. Karena seharusnya saksi yang telah bersumpah harus diambil atau diterima kesaksiannya, adapun perhitungannya di hadapan Allah. Jika kesaksian yang sudah disumpah atas nama Allah saja ditolak, maka dengan apa lagi manusia bersaksi di hadapan pengadilan..?
Kejanggalan ini terus mengganjal di hati. Apalagi ternyata Kemennag akhirnya memutuskan penetapan 1 Syawal dengan sangat demokratis sekali, yaitu meminta pendapat dan melihat suara terbanyak, dalam hal ini menolak kesaksian Cakung dan Jepara dengan alasan bertentangan dengan mayoritas hisab. Inilah sebagai satu bukti bahwa ternyata demokrasi bisa mengalahkan syari’at. Bukankah hisab adalah perkiraan dan ru’yat adalah kenyataan..?
Dari sudut pandang syari’at jelas, langkah Kemennag ini merupakan sebuah ijtihad yang keliru. Sedangkan dari sudut pandang demokrasi jelas putusan ini adalah putusan yang sangat demokratis karena berpihak pada suara mayoritas dan tetap mengharga perbedaan pendapat.
‘Alaa kulli haalin, Syaikh Hasan Al Banna -rahiimahuLlah- berkata : Ikhtilaaf dalam masalah furu’ janganlah dijadikan sebab pertikaian dalam Agama.
‘Ied al Mubaarak, berbahagialah bagi yang hari ini telah merayakan ‘Ied al Fithri…
Dan sempurnakan shaum dengan sebaik-baiknya bagi yang menunda Hari Raya penuh barakah ini sampai esok hari…

source : bekalakhirat.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

""