Izin Poligami

Izin Poligami

  1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut asas monogami, kecuali hukum agama yang dianut menentukan lain. Suami yang beragama Islam yang menghendaki beristeri lebih dari satu orang wajib mengajukan permohonan izin poligami kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah dengan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 .
  2. Agar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah tidak bertentangan dengan asas monogami yang dianut oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah dalam memeriksa dan memutus perkara permohonan izin poligami harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut :
    1. Permohonan izin poligami harus bersifat kontensius, pihak isteri didudukan sebagai Termohon .
    2. Alasan izin poligami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1  Tahun 1974 bersifat fakultatif, maksudnya bila salah satu persyaratan tersebut dapat dibuktikan, Pengadilan Agama dapat memberi izin  Poligami .
    3. Persyaratan izin Poligami yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bersifat kumulatif, maksudnya Pengadilan Agama hanya dapat memberi izin poligami apabila semua persyaratan tersebut telah terpenuhi .
    4. Harta bersama dalam hal suami isteri lebih dari satu orang , telah diatur dalam Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi pasal tersebut mengantung ketidak adilan, karena dalam keadaan tertentu dapat merugikan isteri yang dinikahi lebih dahulu, oleh karenanya pasal tersebut harus dipahami sebagaimana diuraikan dalam angka (5) dibawah ini .
    5. Harta yang diperoleh oleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan isteri pertama, merupakan harta bersama milik suami dan isteri pertama, Sedangkan harta yang diperoleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan isteri kedua dan selama itu pula suami masih terikat perkawinan dengan isteri pertama , maka harta tersebut merupakan harta bersama milik suami, isteri pertama dan isteri kedua. Demikian pula halnya sama dengan perkawinan kedua apabila suami melakukan perkawinan dengan isteri ketiga dan keempat .
    6. Ketentuan harta bersama tersebut dalam angka (5) tidak berlaku atas harta yang diperuntukkan terhadap isteri kedua, ketiga dan keempat ( seperti rumah, perabot rumah dan pakaian) sepanjang harta yang diperuntukkan isteri kedua , ketiga dan keempat tidak melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta bersama yang diperoleh dengan isteri kedua, ketiga dan keempat .
    7. Bila terjadi pembagian harta bersama bagi suami yang mempunyai isteri lebih dari satu orang karena kematian atau perceraian, cara perhitungannya adalah sebagai berikut :
Untuk isteri pertama ½ dari harta bersama dengan suami yang diperoleh selama perkawinan, ditambah 1/3 dari harta bersama yang diperoleh suami bersama dengan isteri pertama dan isteri kedua, ditambah ¼ dari harta bersama yang diperoleh suami bersama dengan  isteri ketiga, isteri kedua dan isteri pertama, ditambah 1/5 dari harta bersama yang diperoleh suami bersama isteri keempat, ketiga, kedua dan pertama .
  1. Harta yang diperoleh oleh isteri pertama, kedua, ketiga dan keempat merupakan harta bersama dengan suaminya, kecuali yang diperoleh suami/isteri dari hadiah atau warisan .
  2. Pada saat permohonan izin poligami, suami wajib pula mengajukan permohonan penetapan harta bersama dengan isteri sebelumnya, atau harta bersama dengan isteri-isteri sebelumnya. Dalam hal suami tidak mengajukan permohonan penetapan harta bersama yang digabungkan dengan permohonan izin poligami, isteri atau isteri-isterinya dapat mengajukan rekonvensi penetapan harta bersama .
  3. Dalam hal suami tidak mengajukan permohonan penetapan harta bersama yang digabung dengan permohonan izin poligami sedangkan isteri terdahulu tidak mengajukan rekonvensi penetapan harta bersama dalam perkara permohonan izin poligami sebagaimana dimaksud dalam angka (9) diatas, permohonan penetapan izin poligami harus dinyatakan tidak dapat diterima

0 komentar:

Posting Komentar

""